Jumat, 28 Oktober 2011

zoologi invertebrata



BAB I
       PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secaralangsung maupun tidak langsung.
 
Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat  enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelysolivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta).
 Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namundemikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa  Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai,perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu.  Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak.



Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi  oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius.
Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979. Konferensi tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan dan konservasionis  yang membahas lebih dari 60  paper dan melakukan analisa dalam menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006).
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik  oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,  maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu dengan melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan dan PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan konservasi penyu. 
Akan tetapi pemberian status perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di Indonesia.  Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur mesti segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya pelaksana di lapang. Namun sampai saat ini buku lengkap yang memuat informasi tentang pengelolaan konservasi penyu sangat sedikit yang mudah dipahami oleh semua kalangan. Oleh karena itu sejalan dengan upaya pengelolaan konservasi penyu di Indonesia, maka buku pedoman teknis bagi para pelaku pengelolaan konservasi penyu di lapangan sangat diperlukan.
habitat dan penutupan populasi seca



B.   RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Struktur morfologi penyu ?
2.      Struktur anatomi penyu ?
3.      Jenis dan Sebaran Penyu 
4.      Identifikasi Jenis           
5.       Sebaran Jenis
6.      Keadaan Populasi Saat ini
7.      Bio Ekologi Penyu 
8.      Reproduksi           
9.      Habitat Bertelur Penyu           
10.  Siklus Hidup           
11.  Status Perlindungan Penyu           
12.  Permasalahan Penyu
13.  Upaya Pengelolaan

C.   TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Penulisan makalah ini betujuan untuk :
1.      Mengetahui struktur morfologi penyu, struktur anatomi penyu, dan pengklasifikasian penyu.
2.      Mengetahui jenis dan sebaran penyu 
3.      Dapat mengidentifikasi jenis penyu           
4.      Mengetahui sebaran jenis penyu dan keadaan populasi saat ini
5.      Mengetahui bio ekologi penyu 
6.      Mengetahui cara reproduksi penyu         
7.      Mengetahui tempat habitat bertelur penyu           
8.      Mengetahui siklus hidup           
9.      Status perlindungan penyu dan permasalahannya
10.  Mengetahui upaya pengelolaan penyu
11.  Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi daging penyu.
  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah untuk tidak memperdagangkan suvenir yang terbuat dari karapas penyu.
  2. Mendorong pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap perdagangan penyu.
  3. Melindungi pantai yang menjadi tempat pendaratan penyu melalui pendekatan wisata dan edukasi.
15.  Memenuhi tugas zoologi vertebrata.
D.   KEGUNAAN PENULISAN MASALAH
Maksud penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat luas tentang kehidupan penyu dan hal-hal yang terkait dengan keberadaan penyu. Selain itu, makalah ini diharapkan dapat  memperkaya khazanah ilmu guna mendorong upaya pengelolaan dan konservasi penyu di Indonesia. Sedangkan untuk penulis sendiri ini sangat bermanfaat sekali untuk penambahan ilmu pengetahuan dan memperluas pendalaman materi kuliah zoologi vertebrata.












BAB II
PEMBAHASAN
Penyu merupakan sejenis hewan yang mempunyai cangkang keras di bagian belakang dengan kaki pendayung didepan. Hal ini menjadikan penyu sebagai hewan yang tangkas berenang di dalam air tetapi kikuk untuk bergerak di daratan. Berbeda halnya dengan kura-kura yang mempunyai kaki yang serupa pada keempat kakinya. Penyu digolongkan di dalam hewan vertebrata (bertulang belakang), kelas reptilia sama dengan ular, cicak, kura-kura,dan labi-labi Penyu juga mempunyai kulit yang bersisik (di bagian tidak bercangkang), bernafas melalui paru-paru, mempunyai suhu badan yang mengikut suhu di sekitaranya.
Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145 - 208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Pada masa itu Archelon, yang berukuran panjang badan enam meter, dan Cimochelys telah berenang di laut purba seperti penyu masa kini. Penyu merupakan salah satu hewan yang populasinya terancam punah. Penyu mempunyai karapas atau tempurung yang keras pada bagian dorsalnya. Secara klasifikasi, Penyu termasuk Ordo Testudines dibagi menjadi 2 suku yakni : Dermochelidae dan Chelonidae .
Berikut klasifikasinya :
Kingdom                 : Animalia
Filum                     : Chordata
Sub Filum              : Vertebrata
Kelas                     : Reptilia
Sub Kelas              : Anopsida
Bangsa                  : Testudinata
Suku                     : Dermochelidae; Cheloniidae
Marga                   : Dermochyles; Celonia; Lepydochelys; Eretmochelis; Natator; Caretta
Famili                :Dermochyles corriacea; Celonia mydas; Lepydochelys olivacea;      Eretmochelis imbricata; Natator depressus; Caretta caretaa.
2.1. JENIS DAN SEBARAN PENYU
2.1.1. Identifikasi Jenis 
Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik.
 Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian:
1)  Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan
 berfungsi sebagai pelindung.
2)  Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
3)  Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan plastrón.
Bagian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
4)  Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat dayung.
5)  Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat
penggali.
Gambar 1. Morfologi Penyu
Penyu laut berbeda dengan kura-kura. Apabila dilihat sepintas, mereka memang terlihat sama. Ciri yang paling khas yang membedakan penyu laut dengan kura-kura yaitu bahwa penyu laut tidak dapat menarik kepalanya ke dalam apabila merasa terancam.
Menurut Carr (1972), penyu termasuk ke dalam phylum Chordata yang memiliki 2 (dua) famili, yaitu:
A.   Family  :   Cheloniidae, meliputi :
   Species  :      1)  Chelonia mydas (penyu hijau)
2)  Natator depressus (penyu pipih)
                        3)  Lepidochelys olivacea (penyu abu)
                        4)  Lepidochelys kempi (penyu kempi)
                        5)  Eretmochelys imbricata (penyu sisik)
                        6)  Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan)
B.   Family  :   Dermochelyidae, meliputi :
      Species  :     7)  Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
Dari 7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin.  Oleh karena itu pada Pedoman ini tidak diikutkan pembahasan tentang Penyu Kempi.
Nama daerah (Indonesia) dan nama internasional 6 (enam) jenis penyu yang ada di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
                  Tabel 1. Nama ilmiah, internasional dan nama daerah (Indonesia)
No
Nama Ilmiah Dan Internasional
Nama Daerah
1
Chelonia mydas  /  Green Sea Turtle
Penyu Hijau ( Jabar dan Kaltim ), Penyu Daging ( Bali ), Penyu Sala ( Sumbawa ), Sumbar ( Katuwang ), dan Penyu Pendok ( Karimun Jawa ).
2
Natator depressus / Flatback Sea Turtle
Penyu Pipih

3
 Lepidochelys olivacea / Olive Ridley Sea Turtle
Penyu Abu-Abu /  Lekang
4
Eretmochelys imbricate / Hawksbill Sea Turtle
Penyu Sisik ( Bali, Jabar, Belitung, Sumbar, Pulau Seribu, Sulawesi Dan Kaltim ). Penyu Genting ( Jatim ) Dan Penyu Sisir ( Madura )
5
Dermochelys coriacea / Leatherback Sea Turtle
Penyu Belimbing

6
Caretta caretta  / Loggerhead Sea Turtle
Penyu Karet / Tempayan


Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut:
a.  Bentuk luar (morfologi)
b.  Tanda-tanda khusus pada karapas
c.  Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur
d.  Pilihan habitat peneluran

2.1.1.1.  Bentuk Luar Penyu ( morfologi )
Identifikasi penyu berdasarkan bentuk luar (morfologi) setiap jenis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.  Identifikasi Berdasarkan Bentuk Luar (Morfologi) Jenis Penyu
No
Jenis Penyu
Ciri-Ciri Morfologi
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Karapas berbentuk oval, berwarna kuning ke abu-abuan, tidak meruncing di punggung dan dengan kepala bundar.
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Karapasnya meluas berbentuk oval, berwarna kuning ke abu-abuan, tidak meruncing dibelakang, kepala yang kecil dan bundar.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Karapas berbentuk kubah tinggi, terdiri dari 5 pasang ” coastal scutes ”, dimana setiap sisi terdiri dari 6-9 bagian. Bagian pinggir karapas lembut. Karapas berwarna hijau gelap ( dark olive green ) dan bagian bawah berwarna kuning. Kepala penyu abu-abu dan cukup besar.
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Bentuk karapas seperti jantung, meruncing di punggung, kepalanya sempit dan karapasnya berwarna coklat dengan beberapa variasi terang mengkilat.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
Punggung memanjang seperti buah belimbing, kepalanya sedang serta membundar, kaki depan panjang dengan punggung berwarna hitam hampir seluruhnya disertai bintik-bintik putih.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Bentuk memanjang,meruncing di bagian belakang, kepala berbentuk ” tria angular ” hampir seluruhnya berwarna coklat kemerahan.



Gambar 2.  Kunci identifikasi jenis penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi (Sumber: Queensland Department of Environment and Heritage)
Perbedaan bentuk luar (morfologi) setiap jenis penyu dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3.1. Penyu Belimbing,           Penyu Hijau                            Penyu Sisik

Gambar 3.2 Penyu Tempayan/bromo dan Penyu Pipih

Gambar 3.3 Penyu Lekang Penyu                  Lekang kemppi
Adapun ciri-ciri bentuk luar (morfologi) anak penyu (tukik) disajikan pada Tabel 3.
                    Tabel 3.  Ciri-ciri Bentuk Luar (Morfologi) Tukik Setiap Jenis Penyu
No
Tukik
Ciri-Ciri Morfologi
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Karapas melebar, berwarna kehitaman.
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Ukuran lebih besar dari tukik penyu hijau. Karapas meluas, berbentuk oval dan tidak meruncing di belakang barwarna kuning ke abu-abuan.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Karapasnya mirip dengan tukik penyu hijau, tetapi bentuknya lebih memanjang.
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Memiliki 4 pasang sisik lateral ” lateral scute ” , karapas seperti genteng.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
 Karapas berbentuk buah belimbing dan berwarna hitam.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Warna kecoklatan, dan mempunyai lateral scute 5 pasang.
2.1.1.2. Tanda-tanda khusus pada karapas
Pengenalan jenis penyu ditentukan berdasarkan tanda-tanda khusus yang terdapat pada karapas penyu dapat dilihat pada Tabel 4.
                     Tabel 4.   Tanda-Tanda Khusus Pada Karapas Penyu
No
Jenis Penyu
Tanda- Tanda Khusus Pada Karapas.
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Bentuk karapas ( punggung ) oval dengan 5 buah neural, 4 buah coastal, 10 buah marginal, rahang bawah bergigi, warna karapas bervariasi.
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Bentuk karapas agak pipih, warna agak kehitaman.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Karapas berwarna hijau gelap,mempunyai 5 pasang coastal scutes dengan pori-pori pada karapas.
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Karapas berbentuk jantung atau susunan genteng yang runcing, warna coklat kemerahan atau bercampur kuning terang.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
Karapas memanjang kebelakang dengan 7 garis di punggung, berwarna hitam disertai bintik-bintik putih.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Karapas memanjang dan meruncing ke arah belakang, warna coklat kemerahan.



2.1.1.3. Jejak, Ukuran Sarang Dan Kebiasaan Bertelur Penyu
Identifikasi jenis penyu berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu dijelaskan pada Tabel 5 di bawah ini.
                     Tabel 5.  Identifikasi Berdasarkan Jejak (track) dan Ukuran Sarang
No
Jenis Penyu
Identifikasi
Jejak ( track )
Ukuran sarang dan kebiasaan bertelur
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
·         Lebar jejak ± 100 cm.
·         Bentuk pintasan dan tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.

Kedalaman antara 55-60 cm
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
·         Lebar jejak ± 90 cm.
·         Pintasannya jelas dengan diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.
Pembuatan sarang dipantai terbuka yang luas, didaratan atau di pulau-pulau besar berhabitat karang.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
·         Lebar jejak ± 80 cm.
·         Bentuk pintasan dan tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.
Bertelur setiap saat ( malam atau siang ),ditemukan secara serentak dalm beberapa hari ”arrabida”. Arrabida adalah prilaku unik dari penyu betina yg bersarang secara serentak pd waktu tertentu. Bertelur pada daerah tropik berpohon.
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
·         Lebar jejak ± 75-80 cm.
·         Bentuk pintasan dangkal dan tanda diagonal yang dibuat tidak simetri.
Tempat bertelur dipasir koral/pasir granit. Kedalaman sarang paling dangkal dibanding dengan penyu lainya.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
·         Lebar jejak ± 150-200 cm.
·         Pintasan sangat dalam dengan bentuk tanda diagonal berpola simetris
Bertelur dipantai yang luas dan panjang didaerah tropis.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
·         Lebar jejak ± 90-100 cm.
·         Pintasannya jelas tetapi dalam dan tanda diagonalnya yang berpola yang dibuat oleh kaki depannya.
Pembuatan sarang umumnya dilakukan dipantai pada daratan pulau besar.

Pengukuran jejak setiap jenis penyu bertelur dilakukan mulai saat naik dari permukaan air menuju intertidal sampai mencari lokasi yang cocok untuk digali. Pengukuran jejak dilakukan malam hari. Panjang kaki belakang (pore flipper) pada penyu jenis tertentu menentukan dalamnya sarang. Secara umum penyu mampu membuat lubang sarang sejauh panjang jangkauan kaki belakangnya untuk mengeduk pasir di sekitarnya.  Sarang yang paling dangkal adalah yang dibuat oleh penyu sisik karena kaki belakang penyu sisik adalah yang terpendek diantara penyu lainnya. Beberapa ukuran sarang yang dibuat oleh setiap jenis penyu yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6.   Ukuran Kedalaman dan Diameter Sarang Menurut Jenis-Jenis Penyu
No
Jenis
Dalam Sarang (cm)
Diameter Sarang (cm)
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
55-60
23-55
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
60-67
25-30
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
37-38
20-21
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
35-42
18-22
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
>100
30-35
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
29-55
18-25

Ukuran telur penyu ada kecenderungan mempunyai korelasi dengan jenis penyu yang bertelur. Besar, jumlah dan ukuran telur penyu laut serta beberapa karakteristik penyu ketika bertelur menurut WWF-Indonesia dan Universitas Udayana (2009) disajikan pada Tabel 7.
Tabel  7.   Jumlah dan Ukuran Telur Penyu serta Ukuran Karakteristik Penyu Ketika Bertelur
Jenis penyu
Hijau
Pipih
Abu-abu
Sisik
Belimbing
Tempayan
Parameter
Saat bertelur
 ( umumnya )
Malam
Malam
Malam
Siang malam
Malam
Malam
Lama menyelesaikan ritual bertelur.
± 2-3 jam
± 1-1,5 jam
± 1 jam
± 2- 1,5 jam
± 1,5 jam
±  1-2 jam
Selang bertelur permusim perteluran
10-17 hari
13-18 hari
17-30 hari
13-15 hari
9-10 hari
13-17 hari
Selang bertelur antar musim perteluran
2,86 tahun
2,65 tahun
1,7 tahun
2,9 tahun
2,28 tahun
2,9 tahun
Lama berahi

± 7-10 hari
± 7-10 hari
± 7-10 hari
± 7-10 hari
± 7-10 hari
± 7-10 hari

Lebar track
± 100 cm
± 90 cm
± 80 cm
± 75 cm
± 150 cm
> 90 cm
Panjang lengkung karapas(saat bertelur)
99,1 cm
90,7 cm
66 cm
78,6 cm
147 cm
87 cm
Jumlah sarang telur per musim bertelur
2,93
2,84
2,4
2,74
6,17
3,49
Jumlah telur persarang
112,8 butir
52,8 butir
109,9 butir
130 butir
81,5  butir
112,4 butir
Berat telur
46,1 gram
51,4 gram
35,7 gram
26,6 gram
75,9 gram
32,7 gram
Diameter telur
44,9 mm
51,5 mm
39,3 mm
37,8 mm
53, 4 mm
40,9 mm
Volume telur
458 cc
70,8 cc
31,8 cc
28,7 cc
79,7 cc
36,2 cc
Berat tukik yg baru menetas
24,6 gram
39,3 gram
17 gram
14,8 gram
44,4 gram
19,9 gram

2.1.1.4. Karakteristik habitat peneluran
Semua jenis penyu, termasuk yang hidup di perairan Indonesia, akan memilih daerah peneluran yang khas. Hasil penelitian di berbagai kawasan dunia sejak tahun 1968 hingga 2009 diperoleh kesimpulan seperti tersebut pada Tabel 8.



                Tabel 8.   Karakteristik habitat peneluran beberapa jenis penyu
No
Jenis Penyu
Karakteristik habitat
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Jika disepanjang pantai,ditemukan pohon Hibiscus tiliacus, Terminalia catappa dan Pandanus tectorius dengan jenis pasir terdiri dari mineral Quart.
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Daerah peneluran terdiri daripasir putih, dimana banyak ditemukan ”sand dunes” tidak terdapat vegetasi pantai, hanya ada rumput-rumputan dan tanaman perdu.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Daerah peneluran terdiri dari butiran pasir hitam, memiliki kandungan mineral lebih dari 70%
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Daerah penelurannya terdiri dari butiran pasir koral hasil hempasan ombak/gelombang, warna pasir putih atau kekuningan
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
Penyu ini seringkali menyukai habitat peneluran penyu hijau. Untuk membedakannya dapat dilihat dari  jarak antara sarang asli dan palsu yang dibuatnya. Pada penyu hijau jaraknya 1-2 m, sedangkan pada penyu belimbing jaraknya lebih dari 2-5 m.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Daerah peneluran dipantai berpasir terdiri dari butiran berdiameter medium dengan material pasir silika.

2.1.2. Sistem Anatomi Penyu
a)      Sistem Digesti
Kebanyakan vertebrata memiliki sistem pencernaan yang sama dan penyu tidak terkecuali. Kura-kura tidak ketat herbivora, segala jenis ditemukan untuk makan setidaknya beberapa daging yang menyebabkan mereka memiliki enzim pencernaan yang kuat (Polandia 2000). Di samping penyu menelan makanan juga sedikit mengunyah. Jika makanan potongannya cukup besar maka kelenjer ludah penyu membantu untuk melunakkan dan memecah makanan sehingga makanan dapat tertelan (Dawson 2000).
Tidak ada gigi. Ludah lebar, tetapi tidak dapat ditonjolkan ke luar. Sistem pencernaan penyu terdiri dari faring yang dapat dibesarkan, esofagus berdinding tebal, lambung, usus halus, usus besar, dan kloaka. Hati dengan empedu besar dan pankreas.
Gambar 4. Sistem Digesti Penyu
b)      Sistem Respirasi
Dari faring, melalui celah suara (glottis) terus menuju trakea (bercincin kartilago), dilanjutkan ke bronki yang kemudian bercabang-cabang dalam paru-paru. Paru-paru itu terbagi dalam kompartemen-kompartemen (lobus-lobus). Laring dari kartilago terdapat di ujung anterior trakea.
c)      Sistem Sirkulasi
Secara fundamental, system peredaran darah penyu tidak  banyak berbeda dengan system peredaran darah katak, kecuali arteri pulmonary dan pokok aorta terpisah sejak keluar dari venttrikel (bilik). Saluran pencernaan mendapat darah dari cabang-lengkung aorta kiri tetapi kurang mendapat darah dari aorta dorsal seperti pada katak.  System peredaran darah renal sangat tereduksi. Porta renal dihubungkan dengan system porta hepatic oleh sepasang vena abdominal ventral.
Oksigen dan nutrisi penting yang penting bagi proses metabolisme diangkut seluruh tubuh oleh darah. Karena sebagian besar transportasi darah ini dimungkinkan oleh sistem peredaran darah. . Sistem peredaran darah penyu secara umum cukup sederhana. Sistem ini terdiri dari, pembuluh darah jantung, arteri dan kapiler. . Penyu laut tidak seperti manusia memiliki tiga bilik jantung. Jantung terdiri dari daun telinga kiri, aurikel kanan dan ventrikel. Ventrikel ini agak dipisahkan oleh septum parsial yang membantu untuk meminimalkan pencampuran darah dan oksigen terdeoksigenasi.
Gambar 5.  Jantung Penyu
Aliran Darah
Proses ini dimulai ketika darah terdeoksigenasi mengalir ke daun telinga kanan. Daun telinga kontrak dan memaksa terdeoksigenasi darah ke ventrikel. Ventrikel Pasukan darah ke paru-paru  dari penyu di mana karbon dioksida dan oksigen diekstraksi ditambahkan. Darah, yang sekarang beroksigen kemudian memasuki daun telinga kiri. Daun telinga kiri kemudian kontrak memaksa darah sekali lagi ke dalam ventrikel. Ventrikel kemudian mengirimkan darah ke seluruh tubuh.
Darah beroksigen dibawa pergi dari hati melalui arteri. Sebagai peregangan arteri di seluruh laut penyu tubuh mereka menjadi sempit sampai mereka menjadi pembuluh darah kecil bernama kapiler. Ini pembuluh darah kapiler yang kecil yang membentuk sistem pertukaran nutrisi penting antara sel-sel tubuh dan darah. Darah yang kemudian terdeoksigenasi dikembalikan ke jantung melalui pembuluh darah penyu.
d)      Sistem Rangka
Kerangka penyu ini dibagi menjadi dua bagian utama, endoskeleton dan ectoskeleton tersebut. Endoskeleton terdiri dari semua tulang internal dan ectoskeleton penyu adalah cangkangnya. Endoskeleton ini dibagi menjadi 2 subbagian disebut kerangka aksial dan kerangka apendikularis. Kerangka aksial terdiri dari tengkorak dan kedua tulang leher dan dada. ). Kerangka apendikularis di sisi lain terdiri tulang yang tersisa dalam kerangka (Polandia 2000).
Rusuk dan sebagian besar vertebrae bersatu dengan karapaks. Sabuk-sabuk pectoral dan pelvic berpola primitive, yaitu tersusun tiga tulang. Sabuk pectoral terdiri dari scapula ( bersatu dengan karapaks), prokorakoid, dan korakoid. Sabuk pelvic terdiri dari ilium (bersatu dengan karapaks), tulna pubik, dan tulang iskium (ventral). Tulang tengkorak merupakan sebuah kotak yang kompak dengan muskulatur rahang yang kuat.
Gambar 6. Sistem Rangka Penyu

e)      Sistem Ekresi
Penyu mempunyai ginjal dengan tipe metanefros, dengan saluran kemih ( ureter ) yang menyalurkan kemih ke kloaka, tidak langsung ke kandung kemih. Kandung kemih berstruktur bilobat di sisi ventral dekat kloaka.
f)       Sistem Syaraf
Sistem saraf dari penyu terdiri dari otak, saraf dan sumsum tulang belakang. Selain itu, sel-sel khusus yang disebut neuron pemancar sinyal di seluruh sistem. Otak adalah pusat penyu saraf's sistem laut dan itu ada bahwa impuls dibawa oleh syaraf dari organ-organ indera diproses. Dibanding dengan ikan dan katak, hemisfer dan serebellum penyu itu lebih besar. Di sini telah ditemukan 12 pasang saraf cranial, karena ada tambahan saraf spinal ( No. XI ) dan saraf hypoglossal ( No. XII ). Meskipun otak kura-kura lebih maju dari amfibi saja yang primitif dalam hal burung dan mamalia.
Gambar 7. Sistem Syaraf Penyu

g)   Sistem Sensori
Mata, telinga dan hidung berkembang baik sebagai sistem sensori. Terdapat kelenjer lakrimal ( air mata ), meatus auditori eksternal ( lubang teliga luar ), dan membran timpani yang terletak dibawah kulit dan melekat padanya.
2.1.3 Sebaran Jenis Penyu
Sebaran beberapa jenis penyu secara umum dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9.  Sebaran Jenis Penyu
No
Jenis Penyu
Sebaran
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Samudra Pasifik, S.Atlantik, S.Hindia. Penyu hijau banyak ditemukan diperairan Indonesia, mulai dari Indonesia Barat ( Sumbar, Riau dan Bangka Belitung ), Indonesia tengah ( Jatim, Kaltim Dan Kepulauan Seribu ) hingga Indonesia timur ( Bali, NTB, NTT, Sulawesi dan Papua )  
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Penyu pipih sampai saat ini hanya ditemukan bertelur di Australia sehingga sering disebut endemik Australia.
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Samudra Indo-Pasifik dan S. Atlanik. Di Indonesia agak sulit diketahui penyebarannya secara pasti dan baru ditemui didaerah Cupel, Perancak, Candi Kuning di selat Bali dan Tegal Besar.
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Samudra Pasifik, S.Atlantik, dan S.Hindia terutama hidup didaerah tropis dan subtropis. Perairan –perairan karang terutama pada pulau-pulau kecil di Laut Jawa, L.Flores, Selat Makasar, Selat Karimata Dan Pulau Manjangan.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
Ditemukan diperairan tropis hingga ke lautan kawasan sub kutub dan biasanya bertelur dipantai-pantai dikawasan tropis.
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Ditemukan di Pulau Komodo, NTB. Lokasi peneluran penyu tempayan di Indonesia belum diketahui secara pasti.

2.1.4. Keadaan Populasi Penyu Saat Ini
2.1.4.1. Kelimpahan dan kecenderungan populasi
Penyu hijau, penyu sisik, penyu belimbing dan penyu abu-abu adalah jenis penyu yang terdapat di perairan Indonesia dan telah masuk dalam daftar Appendix I CITES.Upaya untuk menghitung kelimpahan populasi berbagai jenis penyu yang ada di Indonesia sebelum tahun 1997 pernah dilakukan (Tomascik  et al, 1997), namun setelah periode tersebut pembaruan data belum pernah dilakukan.
Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Jamursba Medi–Warmon di Papua, Kabupaten Berau - Kalimantan Timur serta pantai Sukamade dan Ngagelan di Jawa Timur. Semua jenis penyu di lokasi tersebut mengalami penurunan, kecuali populasi bertelur penyu Lekang di pantai peneluran Alas Purwo, Jawa Timur.
2.1.3.2. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia
Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 (enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada.
Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002). Namun dengan teknik genetik telah diketahui bahwa setiap jenis terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon.
 Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman genetik berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara.  Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya pakandi belahan Selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile .
Studi keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada penyu-penyu hijau menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh pantai peneluran yaitu pantai Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan (Jawa Barat), pulau Sangalaki (Kalimantan Timur), pulau Derawan (Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat), pulau Enu (Aru), serta pantai Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang lainnya dan dinyatakan sebagai stok populasi atau unit pengelolaan (management unit) yang masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana, 2009; Wahidah, 2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi penyu yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman yang sama dengan populasi penyu di Sarawak (Moritz et al, 2002).
Secara teoritis, terjadinya pertukaran individu petelur (dari lokasi peneluran satu dengan lainnya) pada populasi dengan stok genetik yang berbeda hampir tidak terjadi, dan setiap populasi akan memberikan respon terpisah terhadap adanya suatu ancaman maupun pengelolaan konservasi (Moritz, 1994).
Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan efek positif bagi populasi penyu yang bertelur di pulau didekatnya, yaitu pulau Derawan (keduanya memiliki keragaman genetik yang berbeda). Dengan demikian, fokus konservasi mesti dilakukan pada kedua populasi tersebut. Sementara itu, karena memiliki keragaman genetik yang sama, maka masih eksisnya penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyakadalah akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak - Malaysia), demikian pula sebaliknya.
Selain identifikasi terhadap keragaman genetik populasi penyu yang bertelur, kajian terhadap keragaman populasi penyu di dua ruaya pakan (perairan Aru Tenggara dan perairan di dekat Pulau Panjang, Kalimantan Timur) juga telah dilakukan. Telaah stok campuran (mixed stock assessment) yang dilakukan di ruaya pakan perairan Aru Tenggara menunjukkan adanya agregasi populasi penyu yang tidak saja berasal dari pulau-pulau peneluran di dekatnya, namun juga dari Papua New Guinea dan Great Barrier Reef Utara, Australia (Moritz  et al, 2002). Sementara, penyu-penyu yang ada di ruaya pakan pulau Panjang diketahui berasal dari populasi yang bertelur di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan penyu yang ada di Malaysia-Philippines, serta Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dalam pengelolaan suatu ruaya pakan dengan stok populasi penyu yang majemuk.

     
2.2. BIO-EKOLOGI PENYU
2.2.1. Reproduksi 
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu betina. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa.Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah tiba masa kawin.
Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang.  Penyu jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih.
Untuk membedakan kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara ”sexual dimorphism”, yaitu  membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai berikut  (Tabel 10).
               Tabel 10.  Cara Penentuan Jenis Kelamin Penyu
No
Uraian
Jenis kelamin
Jantan
betina
1
Kepala
Lebih kecil
Lebih besar
2
Ekor
Lebih kecil, memanjang
Lebih pendek, agak besar

Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyu betina akan mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan.
b. Perilaku Peneluran
Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu (timing) peneluran yang  berbeda satu sama lain, seperti yang tersebut pada Tabel 11.
                    Tabel  11.  Waktu (Timing) peneluran menurut spesies (jenis) penyu
No
Jenis Penyu
Waktu peneluran
1
Penyu hijau (Chelonia mydas )
Mulai matahari tenggelam, dan paling banyak ditemukan ketika suasana gelap gulita ( jam 21.00 – jam 02.00 )
2
Penyu Pipih (Natator depressus)
Malam
3
Penyu Abu-Abu (Lepidochelys olivacea )
Saat menjelang malam ( jam 20.00 – jam 24.00 )
4
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)
Waktu peneluran tidak dapat diduga, kadang malam hari tetapi bisa siang hari.
5
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea )
Ketika mulai menjelang jam 20.00 – 03.00
6
Penyu Tempayan (Caretta caretta  )
Malam

Lama antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran) dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama.
Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut:
·         Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak
·         Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang.  Jika tidak cocok, penyu akan mencari tempat lain.
·         Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan menggali sarang telur di dalam body pit.
·      Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua sampai tiga telur.  Ekor penyu melengkung ketika bertelur.
·         Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk menggali sarang dan 10 – 20 menit untuk meletakkan telurnya.
·         Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.
·         Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya.
·         Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara gelombang.  Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.
·         Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun mendatang.
c. Pertumbuhan Embrio
Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir, berbentuk bulat seperti bola pingpong, agak lembek dan kenyal. Sebagai contoh, gambaran pertumbuhan embrio penyu Tempayan, berdasarkan informasi dari Yayasan Alam Lestari (2000) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Embrio umur 30 hari
a.       Panjang 2 cm
b.      Kepala besar, mata berwarna hitam besar
c.       Karapas sudah mulai terbentuk sebagian
d.      Kaki dengan 5 tulang jari terlihat jelas.
2)      Embrio umur 40 hari
a.       Panjang mencapai 4 cm
b.      Kaki dan mata mulai bergerak perlahan-lahan
c.       Karapas berwarna hitam, mulai mengeras
d.      Tampak pembuluh darah pada kuning telur yang menutup embrio
e.       Tukik sudah sempurna.
3)      Embrio dan permukaan telur umur 50 hari
a.       Permukaan telur berwarna putih jernih dan kering. Apabila digerak-gerakan terasa akan  pecah.
b.      Seluruh tubuh tukik yang sudah terbentuk berwarna hitam, mata kadang terbelalak
4)      Embrio umur 52 hari
a.       Telur menetas apabila sisa kuning telur sudah mengering
b.      Panjang tukik mencapai 7 cm, berat 19 gram
c.       Tukik keluar dari pasir pada hari ke- 52
Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33°C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut.  Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, antara lain:
·         Suhu pasir
Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas.  Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32°C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24°C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.
·         Kandungan air dalam pasir
Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah besar.  Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati.
·         Kandungan oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio.  Air hujan yang menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati.
d)  Proses penetasan
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam Lestari (2000)  sbb :
1.      Telur dalam sarang
2.      Tukik memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle) yang terdapat di ujung rahang atas. 
3.      Tukik mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio terlepas.
4.      Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk mencapai kepermukaan. Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh suhu.



e) Tukik menuju laut
Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir, biasanya pada malam hari. Untuk menemukan arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam.
Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. Proses ini disebut imprinting process. Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-arus laut bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang mengapung, benda apung lain yang terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan laut kecil sebagai makanan. Tukik bersifat karnivora sampai berumur 1 tahun dan akan berubah setelah berumur lebih dari 1 tahun tergantung dari jenis penyu itu sendiri. 
Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm dengan usia sekitar 5-10 tahun setelah menetas.  Pada saat itu tukik yang telah menjadi dewasa berenang kembali ke ruaya pakan di pesisir dan tinggal di daerah tersebut sampai siap memijah, dan saat itu pulalah siklus hidup penyu dimulai lagi.  Masa tukik-tukik menghilang disebut sebagai tahun-tahun hilang (the lost years), yang ternyata saat itu tukik berlindung dan mencari makan di daerah sargassum.
2.2.2. Habitat Bertelur Penyu
Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur.  Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30  derajat di pantai bagian atas. Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat di sepanjang daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan adalah sebagai berikut :
a)      Tanaman Pioner
b)     Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dan lainnya
c)      Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumphii, dan lainnya
d)     Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum, Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.
2.2.3. Siklus Hidup Penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran.  Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun) penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya.
Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin.  Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan bertelur dua mingguan di pantai. Penyu betina akan keluar dari laut jika telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain.
Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing instinct”) yang kuat  (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground).  Migrasi ini dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran, misalnya tsunami.  Siklus hidup penyu secara umum dapat dilihat pada skema pada Gambar 21.


Siklus Hidup Penyu Laut Secara Umum

Gambar 8.  Skema siklus hidup penyu (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Serangan, Bali)
2.2.4. Permasalahan Penyu
Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika menuju daerah peneluran banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman bagi kehidupannya. Permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam kehidupan penyu secara umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman karena perbuatan manusia.
Gangguan atau ancaman alami yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:
a.       Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing-anjing liar, biawak dan burung elang) maupun terhadap tukik di laut (diantaranya oleh ikan cucut).
b.      Penyakit, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena pencemaran lingkungan perairan.
c.       Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap berubahnya daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik.
Sedangkan gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:
a.       Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak , jaring insang (gill net), rawai panjang (longline) dan pukat (trawl).
b.      Penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan tulangnya.
c.       Pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein.
d.       Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan pelabuhan dan bandara, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan dinding atau tanggul pantai .

2.2.5. Upaya Pengelolaan
2.2.5.1. Pendidikan konservasi
Konservasi penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut. Kelangkaan yang terjadi secara terus-menerus dengan kecenderungan semakin lama semakin sulit ditemukan, dapat menjurus pada kepunahan. Penyu, sebagai salah satu hewan langka, perlu segera dilakukan upaya konservasi. Untuk itu mutlak diperlukan pendidikan tentang kaidah-kaidah konservasi populasi penyu. Langkah-langkah yang dianggap penting dalam melaksanakan pendidikan konservasi penyu antara lain adalah :
a.       Memberikan ceramah-ceramah pendidikan (educational campaigns) untuk semua lapisan masyarakat mulai rumah tangga sampai seterusnya, mencakup taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
b.      Membuat Lembaran Leaflets: Leaflets dibuat dalam bentuk yang menarik dan mudah dimengerti, bertujuan untuk pencerahan kepada masyarakat.
c.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 dan No. 8 Tahun 1999.
2.2.5.2. Pelatihan
Beberapa bentuk pelatihan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan konservasi penyu antara lain sebagai berikut:
1). Pelatihan Kegiatan Penetasan Telur Penyu
Pelatihan kegiatan penetasan telur penyu bertujuan untuk memberi pengetahuan mengenai cara penyelamatan sarang-sarang telur yang ditemukan di daerah pasang surut (intertidal) setelah penyu laut selesai bertelur. Pembusukan telur akan terjadi apabila sarang-sarang telur tersebut dibiarkan di daerah pasang surut, sehingga telur gagal menetas.
Pembuatan daerah penetasan telur (hatcheries) dilakukan di daerah  supratidal adalah untuk menghindari sapuan (flushing) air laut pada siklus hari-hari bulan mati atau bulan purnama agar suhu sarang buatan tetap stabil. Kestabilan suhu sarang merupakan faktor penentu keberhasilan penetasan telur.

Bentuk bagian depan hatcheries dibuat semi permanen, agar tukik lahir langsung mampu bergerak ke laut dengan secara alami tanpa campur tangan manusia lagi. Tujuannya agar pada 6-10 tahun kemudian, tukik yang sudah dewasa secara naluri (instinct) akan beretelur kembali di sepanjang pantai hatcheries.
2). Pelatihan Pembesaran Tukik
Setelah menetas tukik seharusnya secara mandiri di bebaskan untuk menuju laut. Tetapi kadangkala diperlukan penyelamatan tukik yang masih lemah, karena pada saat di laut tukik akan berenang atau terombang-ambing dibawa arus laut sehingga dapat dengan mudah dimangsa oleh predator.
Penyelamatan tukik dapat dilakukan melalui kegiatan budidaya, khususnya bagi tukik yang cacat. Tukik cacat yang berasal dari sarang  hatcheries harus diperlihara dalam bak-bak budidaya sampai mencapai ukuran tertentu (berumur 2–3 bulan). Tukik cacat yang berumur 2-3 bulan ini sudah bisa melakukan penghindaran dari predator dengan cara menyelam di karang-karang atau bergerak di komunitas sargassum, karena lobul-lobul paru-parunya sudah mampu menghisap udara.
Tukik cacat yang dipelihara melalui budidaya tidak boleh mendapat gangguan yang dapat mengakibatkan kelainan tingkah laku. Perlakuan-perlakuan pemeliharaan tukik dalam budidaya antara lain dengan cara :
a.       Kolam-kolam pemeliharaan harus berisi air  laut yang mengalir
b.      Pemberian makan sesuai dengan tahapan
c.       Air dalam kolam pemeliharaan harus bebas dari penyakit, polusi dan kotoran-kotoran ataupun bahan kimia yang membahayakan.                                                                                                                      
3). Pelatihan Pemberian Penandaan (Tagging) pada Penyu
Pemberian tanda (tagging) dilakukan terutama pada penyu dewasa yang bertelur. Pemberian tanda ini tidak boleh mengakibatkan penyu mati atau berubah tingkah lakunya. Pemberian tanda tagging) dapat dilakukan pada kaki depan atau karapas bagian bawah yang diikat dengan tali senar halus.  Pemberian tanda di bagian kaki depan dimaksud agar tidak mengganggu aktivitas penyu saat menggali sarang ketika bertelur.  Hal lain yang perlu diperhatikan untuk diantisipasi adalah tag yang mudah lepas atau tulisan yang terdapat pada tag terhapus. 
Tujuan pemberian penandaan (tagging) pada penyu adalah untuk mengetahui :
a.       Frekuensi peneluran penyu
b.      Daerah ruaya penyu
c.       Pertumbuhan penyu di alam
d.      Interval atau jarak antar musim bertelur
e.       Jumlah populasi induk di pantai peneluran
Sedangkan bahan pembuat tag, terdiri dari:
a.       Inconel Tag, yaitu tagging yang terbuat dari campuran logam, banyak digunakan di Amerika dan Asia Tenggara,  termasuk Indonesia.
b.      Tag plastik, yaitu tag yang terbuat dari plastik, mudah hilang dan rusak.
c.       Titanium:  harga mahal, tapi lebih tahan lama karena tidak berkarat dan lebih ringan.
4). Pelatihan Penanaman Pohon di Sepanjang Pantai Peneluran
Dewasa ini hampir semua daerah peneluran penyu, terutama daerah peneluran penyu hijau telah mengalami degradasi, dimana pohon-pohon di sepanjang pantai peneluran telah banyak rusak.  Pohon pantai ini sangat penting karena dapat menjadi naluri peneluran penyu, terutama bagi penyu hijau.
2.2.5.3.  Penyesuaian penggunaan alat-alat Circle Hook dan TED
Circle hook adalah jenis alat pancing ikan yang berbentuk setengah lingkaran atau sirkular dengan bagian ujung yang tajam akan tetapi arahnya ke bagi dalam lingkaran tersebut. Circle hook akhir-akhir ini sangat populer di kalangan para pemancing ikan karena persentase keberhasilannya lebih tinggi dan jarang tertelan ikan (yang menyebabkan pancing menancap insang atau organ vital ikan) serta menurunkan tingkat kematian yang cukup besar.  Oleh karena itu, ketika para nelayan atau pemancing mempergunakan  circle hook  untuk memancing ikan, dan ketika ada penyu yang terpancing oleh circle hook ini, maka peluang penyu tersebut tetap hidup cukup besar. Penggunaan circle hook perlu disosialisasikan kepada masyarakat, terutama masyarakat perikanan, yang lebih luas lagi, termasuk teknik-teknik penggunaannya.
            Turtle excluder device (TED) merupakan suatu alat khusus yang digunakan untuk membantu meloloskan atau melepaskan penyu yang tertangkap jaring. Dalam kegiatan perikanan tangkap, sering terjadi penyu ikut tertangkap jaring, terutama jaring trawl udang. Mengingat penyu yang tertangkap tersebut, bukan species target, sering tidak dihiraukan dan akhirnya mati. Oleh karena adanya peluang penyu tertangkap oleh jaring ikan (seperti jaring trawl dan sejenisnya), maka dibutuhkan suatu alat bantu khusus yang dapat melepaskan penyu dari jaring tersebut tanpa merusak atau mengganggu hasil tangkapan ikan target pada jaring tersebut. Alat bantu khusus dimaksud adalah Turtle Excluder Device (TED).
Untuk mengoperasikan TED, dibutuhkan keahlian khusus sehingga selain harus intensif mensosialisasikan penggunaan TED, juga perlu dilakukan pelatihan khusus penggunaan TED, terutama bagi para operator perikanan jaring trawl.
2.2.5.4.  Upaya pengelolaan secara teknis
Program pengelolahan konservasi penyu akan berhasil jika diikuti oleh serangkaian riset atau penelitian terhadap populasinya di seluruh kepulauan Indonesia. Penelitian tersebut penting untuk mendukung upaya pengelolaan secara teknis, antara lain:
1. Pengelolaan penangkaran
Penangkaran penyu pada prinsipnya merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi penyu agar tidak punah dengan meningkatkan daya tahan tubuh penyu dari berbagai gangguan, termasuk penyakit, menjauhkan penyu atau tukik dari hal-hal yang membahayakan kehidupannya (misal dari predator) dan meningkatkan daya tetas telur penyu. Oleh karena itu, stasiun penangkaran penyu harus berada pada sekitar habitat peneluran penyu.  Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di stasiun penangkaran penyu secara garis besar diantaranya:
a.       Memelihara telur-telur penyu dari berbagai potensi ancaman hingga menetas menjadi tukik dan tukik kembali ke laut dengan aman. Kegiatan ini dapat dilakukan di stasiun penangkaran (alami maupun buatan) maupun di sarang-sarang penyu bertelur.
b.      Memelihara tukik yang dipelihara di stasiun penangkaran hingga cukup kuat untuk dilepas ke laut. Untuk kebutuhan pengamatan, penelitian dan ekspose, sebaiknya ada sejumlah tukik yang ditinggalkan di stasiun penangkaran penyu.
c.       Melakukan monitoring kepada setiap penyu yang mendarat di lokasi-lokasi peneluran yang berada pada wilayah pemantauannya. Pemantauan yang dilakukan, diantaranya jenis dan jumlah penyu yang mendarat, jumlah penyu yang bertelur, jumlah telur setiap penyu, dimensi telur penyu, panjang dan bobot (jika memungkinkan), dll. Hasil monitoring harus terdokumentasikan dan dicatat dalam form monitoring .
d.      Melakukan penelitian-penelitian  yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi penyu secara berkelanjutan.
Beberapa lokasi penangkaran penyu atau sejenisnya yang ada di Indonesia diantaranya:   
a.       Penangkaran penyu sisik di Pulau Pramuka, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
b.      Penangkaran penyu sisik di Pulau Kerabak Ketek, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat Penangkaran penyu Sukamaju di Pekon Muara Tembulih.
c.       Program penyelamatan penyu di Kuta, Bali
2. Penanggulangan parasit dan penyakit
Penyakit yang dapat menyerang tubuh penyu antara lain:
a.  Jenis-jenis teritip yang melekat mulai dari ”flipper”, leher, karapas dan plastron
b.  Penyakit tumor yang meyerang tubuh penyu.
c.  Parasit pada bagian-bagian tubuhnya, seperti lumut dan jamur
d.  Abnormalitas. Tukik yang mengalami abnormalitas
Selain itu, penyakit pada penyu dapat juga ditimbulkan karena sistem pemeliharaan penyu yang tidak memenuhi syarat ekologis seperti pergantian air tidak kontinyu. Hal ini dapat mengakibatkan lingkungan perairan menjadi kurang sehat sehingga mudah menimbulkan berbagai penyakit seperti Dermatitis, Helminthiasis dan Tuberculosis.
Beberapa langkah penanggulangan yang harus dilakukan dalam upaya pengelolaan konservasi penyu, yaitu:
a.       Melakukan karantina terhadap penyu-penyu yang berpenyakit, baik yang dewasa maupun tukik, agar tidak menular kepada penyu-penyu yang lain.
b.      Pemberian obat secara rutin kepada penyu-penyu yang berpenyakit hingga sehat kembali.
c.       Menciptakan kondisi lingkungan perairan yang sehat dan memenuhi syarat ekologi bagi kehidupan penyu, terutama di penangkaran penyu
d.      Pemberian pakan yang cukup, sehat dan bergizi bagi tukik agar didapat penyu yang sehat dan tahan penyakit sebelum dilepas ke alam.
2.2.5.5. Penelitian
Dalam rangka untuk menunjang keberhasilan upaya pengelolaan konservasi penyu, salah satu kegiatan yang penting untuk dilakukan adalah penelitian secara kontinyu dan berkala. Penelitian tersebut diprioritaskan tentang aspek-aspek teknis yang terkait langsung dengan upaya pengelolaan konservasi penyu agar dapat berlangsung secara optimal, sehingga keberhasilan pengelolaankonservasi penyu tersebut dapat berkelanjutan.
Beberapa jenis penelitian yang seharusnya rutin dilakukan dalam rangka mendukung keberhasilan pengelolaan konservasi penyu secara berkelanjutan diantaranya:
1.      Kajian tentang teknik penandaan penyu yang efektif
2.       Kajian tentang status populasi penyu, baik jenis maupun jumlahnya, yang ada di Indonesia
3.      Kajian tentang hubungan antara jenis penyu dengan berbagai ciri fisik penyu, seperti ciri  track penyu, telur penyu, kedalaman lubang telur penyu.
4.       Kajian tentang genetika penyu, baik penyu dewasa maupun tukik, baik tentang genetika populasi maupun filogeni (kekerabatan penyu)
5.      Kajian tentang pengaruh suhu terhadap rasio kelamin penyu
6.       Kajian tentang pengaruh suhu dan cahaya terhadap tingkah laku bertelur penyu dan terhadap keberhasilan penetasan telur penyu
7.      Kajian tentang teknik penetasan dan hatchery terhadap anak penyu
8.      Kajian tentang pola migrasi penyu dengan menggunakan alat bantu satelit
9.       Kajian tentang jenis makanan yang tepat untuk pertumbuhan penyu dan ketahanan penyu dari penyakit.
















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN :
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut yang keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun dari kegiatan manusia. Secara internasional, penyu masuk ke dalam ‘red list’ di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius.
Oleh karena itu, upaya konservasi penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan populasi penyu, terutama di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 dari 7 spesies penyu yang masih ada saat ini. Guna mendukung keberhasilan dan keberlanjutan upaya pengelolaan konservasi penyu di Indonesia, maka diperlukan suatu pedoman teknis bagi para pelaku pengelolaan konservasi penyu di lapangan.
Makalah ini secara umum mencakup informasi tentang kondisi umum populasi penyu di Indonesia dan pedoman teknis dalam pengelolaan konservasi penyu. Kondisi umum populasi penyu yang disampaikan meliputi jenis, sebaran dan status populasi penyu saat Ini di Indonesia, dan mencakup informasi tentang aspek bio-ekologi penyu, meliputi aspek reproduksi, habitat bertelur penyu, siklus hidup penyu, status perlindungan penyu, permasalahan yang dihadapi penyu dan upaya pengelolaan penyu.
Akhirnya, selain menjadi pedoman dan pegangan secara teknis dalam pengelolaan konservasi penyu, buku ini juga diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu dan pengetahuan masyarakat Indonesia secara umum tentang penyu guna mendorong upaya pengelolaan konservasi penyu secara komprehensif di Indonesia







DAFTAR PUSTAKA

Djarubito, Mukayat Brotowidjoyo . 1994 . Zoologi Dasar . Universitas Gajah Mada .        Erlangga.

Erwanto, B. 2008. BAB II, jenis jenis penyu oleh bambang Erwanto. file:///E:/penyu/BAB-II-jenis-jenis-penyu-oleh-bambang-Erwanto.htm. Online 25 Oktober 2010.

 

Jamel, W.M.,2010. Pengenalan Kepada Penyu Laut di Malaysia. Penyu.pdf.. Online 25 Oktober 2010.

LIPI–Komisi   Nasional   Pengkajian   Stok   Sumber   Daya   Ikan   Laut.   1998.  Potensi

           dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.

Nuitja, I, N, S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor.

Romimohtarto, Kasijan , Sri Juwana . 2004 . Biologi Laut . Jakarta . Djambatan

Suwelo, I, S,. Ramono, W, S,. dan Somantri, A,. 1992. Penyu Sisik di Indonesia. Oseana, Volume XVII,

Yanuar, M.F., 2009. Penyu di Pantai Ngagelan, TN Alas Purwo. WartaHerpetofauna+edisi+mei.pdf.. Online 25 Oktober 2010

WWF. 2005. Indonesian Sea Turtle Conversation. Yayasan WWF Indonesia.
www.profauna.org.        Menteri     Kehutanan      mencabut     peraturan     perburuan     telur
          penyu di Kepulauan Riau, press release. 2006

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

beri komentarx